Sunday, October 7, 2012

Sorot Mata


Desa Aek Bamban, Kabupaten Asahan. Desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini adalah potret kalau pemerintah hanyalah terdiri dari sekumpulan manusia biasa yang susah dihandalkan. Yang hanya bisa janji tanpa tahu bagaimana cara menepati. Entah sudah berapa kali para pejabat mulai dari kelas teri seperti camat sampai kelas kakap seperti presiden berjanji untuk memajukan kita-kita yang terpinggirkan ini. Tapi sampai sekarang semua itu seperti sorak sorai di masa lalu. Tidak ada gunanya untuk sekarang.
            Sudah satu tahun aku tinggal di desa ini. Statusku disini bukanlah sebagai penduduk asli. Hanya sebagai orang suruhan pemerintah sebagai teknisi di desa ini. Keren bukan pekerjaanku? Tapi sekarang itu hanyalah sebuah titel. Rencana pemerintah untuk membangun desa informasi kandas sudah. Sekarang aku hanya seperti pengangguran berduit di desa ini. Tidak melakukan apa-apa dan digaji.
            Seperti biasa, sore hari aku habiskan untuk meluruskan punggung di dermaga. Atau mungkin sebagian waktu hidupku memang kuhabiskan di dermaga. Aku melihat burung camar, aku mendengar para nelayan yang saling berkelakar, dan aku mencium baunya ikan, pastinya. Tapi entah kenapa otakku mengolah itu semua sebagai sesuatu yang tidak asing bagiku. Sesuatu yang sangat sangat familiar, sefamiliar saat kita menghirup udara tanpa disuruh dan membersihkan pantat kita setelah buang air besar.
            “Hei, Boi. Sudah kuduga kau disini. Sedang apa kau?” teriak Arifin dari jauh. Arifin, temanku asli Aek Bamban yang sudah kukenal setahun ini adalah kawan yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri. Ibaratnya seperti Si Buta dari Gua Hantu dengan monyetnya Si Kliwon. Pilihan yang sulit untuk memilih antara Si Buta dan Si Kliwon.
            “Lagi melamun, Kawan Melayuku. Aku merasa bersalah dengan desamu, Fin. Aku disini untuk membangun desamu, memajukan desamu, memberikan fasilitas komunikasi dan informasi di desamu, tapi lihatlah sekarang. Aku bukanlah apa-apa kecuali sampah.” Sesalku dengan nada tinggi.
            “Ya mau bagaimana lagi, Boi? Kau sudah berusaha semampumu membantu kami, orang-orang pinggiran ini. Setidaknya dari tanganmu sendiri kau berhasil membangun stasiun radio disini. Itu sudah lebih dari cukup untuk kami ini. Jujur, sudah dari awal aku pesimis dengan rencana pembuatan desa informasi seperti ini. Aku tahu tujuan orang-orang Jakarta disana baik, tapi kami sudah meramalkan bahwa program ini tidak akan semenarik beritanya. Rencana hanyalah sebuah rencana. Kau sudah berusaha, Kawan.” Ucap Arifin datar.
            “Berarti benar kau menyimpan kekecewaan, Boi?”
            Aku juga manusia, Bon. Pasti merasa kecewa aku.... Tapi aku sudah siap dengan kenyataan seperti ini. Tapi yang lain? Aku tidak tahu....”
            “Lihatlah sekitar, Fin. Sorot mata mereka sekarang sudah kembali sayu. Tak ada semangat untuk berubah lagi. Berbeda dengan setahun yang lalu saat aku datang. Aku lihat ada semangat dari mereka. Mata mereka seakan berkata ‘aku siap untuk perubahan. Bawa aku ke dunia lain yang lebih hebat dari duniaku sekarang ini’. Tapi sekarang? Pandangan mereka seakan ingin bilang ‘ah sudahlah, mungkin tempatku memang disini. Tak akan lagi ada sesuatu yang spektakuler dalam sisa hidupku.’ Aku merasa aku tidak ada gunanya disini.”
            “Tidak apa-apa, Bon.... Setidaknya hidup mereka sudah pernah kau berikan warna. Lagipula program desa informasi ini tidak segagal yang kita bayangkan. Lihatlah, setidaknya radio yang kau pasang ini masih bisa mengudara mengalahkan radio milik Malaysia itu. Perubahan memang tidak selamanya berlangsung secara cepat, Bon. Kita boleh berusaha dan mengumpat sekeras yang kita mau, tapi tetap Yang Diatas yang menentukan.”
            “Aku akan kembali ke Jakarta. Aku akan usahakan apa yang bisa aku lakukan agar desa ini menjadi tempat yang bisa dibanggakan olehmu, oleh kalian semua. Akan kukembalikan sorot mata kalian-kalian ini sama seperti sorot mata satu tahun yang lalu.” ucapku dengan mantap.
            “Tidak perlu, Boi. Kau tidak perlu....”
            “Tidak apa-apa. Aku tidak mau pekerjaanku hanya berhenti sampai sini saja. Seorang Bono tidak pernah setengah-setengah menyelesaikan pekerjaannya.” kataku dengan yakin.
            “Terima kasih, Kawan Jawaku. Aku tunggu kau dengan perubahan yang akan kau bawa. Tapi jangan lama-lama, atau akan aku ubah desa ini lebih dulu daripada kau. Hahaha....” canda Arifin. Aku lihat sorot matanya yang mulai semangat. Sorot mata yang ingin bilang ‘kau akan membawa perubahan untuk kami, kawan’.
            “Tunggu saja, Fin. Perubahan memang tidak selamanya berjalan dengan cepat, seperti katamu. Tapi aku akan berusaha secepat yang aku bisa. Dan sekarang sudah waktunya aku pergi. Perahuku sudah terlihat. Sampaikan salam dan maafku pada yang lainnya. Kita akan bertemu lagi, Kawan Melayuku.”
            “Pasti.” jawabnya dengan senyum.
            Aku segera mengambil langkah lari menuju kapal yang akan membawaku ke Jakarta. Aku balik arah, dan aku melihat Arifin serta desa Aek Bamban. Aku tunjuk jari telunjukku kesana. Dan aku bilang dalam hati, aku akan kembali ke desa itu dan mengubahnya menjadi lebih baik. Aku janji.

Thursday, July 19, 2012

Menjadi Peng(h)ajar

Tas hitam dari kulit buaya.
"Selamat pagi!", berkata bapak Oemar Bakri.
"Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!"
Tas hitam dari kulit buaya.
Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti.
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu.

Laju sepeda kumbang di jalan berlubang
S'lalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang
Banyak polisi bawa senjata berwajah garang
Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan
"Berkelahi Pak!", jawab murid seperti jagoan
Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, cepat pulang
Busyet... Standing dan terbang

Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Laju sepeda kumbang di jalan berlubang
S'lalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang
Banyak polisi bawa senjata berwajah garang
Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan
"Berkelahi Pak!", jawab murid seperti jagoan
Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, cepat pulang
Busyet... Standing dan terbang

Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan
"Berkelahi Pak!", jawab murid seperti jagoan
Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut
Bakrie kentut... Cepat pulang
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Bikin otak seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Ya, seperti itu gambaran seorang guru atau “pengajar” di zamannya Iwan Fals. Aku tidak tahu apa yang mendasari Iwan Fals zaman dulu membuat dan mendirikan image pengajar seperti itu, tapi sepertinya memang gambaran seorang pengajar dari zaman dulu dengan sekarang tidak jauh berbeda. Selalu melarat.

Tapi kali ini aku tidak ingin membicarakan seluk-beluk pengajar dan segala perjuangan hidupnya yang serba susah. Kenapa? Karena tak akan ada gunanya membicarakan hal seperti itu tapi pada waktu yang bersamaan tak ada tindakan dari yang diatas (pemerintah maksudnya).

Pengajar... pengajar... pengajar... siapa yang tidak kenal dengan profesi itu? Hampir setiap orang di muka bumi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghadap dengan para pengajar. Tapi bagaimana dengan pihak pengajar sendiri? Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali pengajar yang berubah menjadi penghajar?

Seperti di Solo, ada seorang guru piket yang memukul anak didiknya lantaran ketahuan tidur di kelas sampai-sampai murid tersebut masuk rumah sakit. Di Tomohon sendiri juga sama dengan kasus yang diatas, seorang guru yang merangkap sebagai wakil kepala sekolah juga menganiaya muridnya sendiri. Ironis memang.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apa hal seperti itu diperlukan untuk mendidik para muridnya? Apakah para guru tidak menyadari, jika mereka menghajar anak didik mereka, lalu kelak anak didik mereka juga melakukan hal yang serupa kepada anak didiknya, bukankah itu seperti lingkaran setan?

Demi alasan kedisiplinan, atau kepatuhan, atau kemandirian, kekerasan bukanlah hal yang pantas untuk diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran. Mereka masih anak-anak. Kesalahan tetap saja kesalahan, tapi dengan tindak kekerasan seperti itu apa mereka akan jera? Apa mereka akan sadar bahwa mereka salah? Tidak. Yang akan tertanam di otak mereka hanya dogma yang mengajarkan bahwa “kekerasan adalah jalan yang terbaik.” Apa kita mau mengorbankan masa depan beberapa generasi yang digadang-gadang sebagai generasi penerus bangsa hanya demi satu atau dua pukulan di tubuh murid kita?

Tidak perlu pemerintah, tidak perlu PGRI, dan tidak perlu Komnas Perlindungan Anak untuk menyelesaikan masalah ini. Cukup bisa sadar diri saja bahwa kekerasan tidak akan bisa memecahkan masalah. Mungkin memang bisa menyelesaikan masalah, tapi tidak bisa memecahkan masalah.

Saturday, June 23, 2012

Another Day Another Imagination

Hari ini, Sabtu 23 Juni 2012 jam 14:40 kecoak masih melakukan hal yang sama dengan hari biasa. Naik ke atap, menggelar tikar dan menyeruput habis sekotak ultra milk rasa coklat, lalu tiduran sambil melihat langit. Ya, ketika orang menghindari jam-jam seperti itu karena takut hitam atau mungkin takut kecantikan atau ketampanannya luntur (pernah ada yang bilang begitu, dan sampai sekarang kecoak belum menemukan koneksi antara matahari, luntur, dan kecantikan atau ketampanan) mungkin akan berlari-lari kecil masuk ke dalam rumah dan menunggu hingga petang untuk keluar. Jika memang ada orang yang seperti itu, kecoak bisa pastikan sebagian besar hidup kalian akan bergantung pada pandangan orang lain.

Tapi untuk kecoak, melihat awan yang luas seperti sketsa kosong yang siap diisi. Mata kita sebagai kuasnya, dan otak kita adalah cat warnanya. It’s time to use your imagination, guys. Ya mungkin kalian bosan dengan dunia nyata kalian yang serba berbenturan dengan kepentingan orang lain. Imajinasi akan membuat kalian merasa memiliki dunia kalian sendiri. Dimana kamu bisa menjadi raja, dewa, ataupun pengemus dalam waktu yang bersamaan. But still, jangan gunakan imajinasi sebagai tempat pelarian. Cukup gunakan imajinasi sebagai tempat wisata yang hanya buka antara Sabtu dan Minggu.

Jadi berimajinasilah, kawan. Untuk itulah kita punya otak.

Sunday, June 10, 2012

Quote of the Day

rumah itu memang surga, sangat surga. Sampai-sampai tugas pun jadi terbengkalai gara-gara di rumah.

Thursday, May 31, 2012

(31 Mei 2012) Fanatisme dan Orang Bodoh #31harimenulis

Bagi yang suka berlama-lama lihat twitter sampai-sampai menganggap pacarnya “tidak terlihat” saking asyiknya, mungkin akan tahu dengan akun @AgamaChibi. Kecoak tahu pasti sekarang di pikiran kalian semua ada kalimat yang berintikan sama. Bingung. Ya, kecoak juga merasakan hal yang sama. What the hell is it? Chibi yang dari sononya adalah fans Cherrybelle sekarang menjadi agama dan menyembah Cherrybele? Oke, kawan. It’s time to say “Dafuq, did I just see?”

Sekarang buang dulu Cherrybelle dan segala permasalahannya, kita menuju ke fanatisme. Pada dasarnya ada dua tipe (menurut keccoak) fans itu. Yang pertama, fans yang suka atas dasar karya yang diciptakan oleh tokoh idolanya. Yang kedua, fans yang suka atas dasar semua yang melekat pada tokoh idolanya, mulai dari karya, hobi, makanan, bahkan ukuran celana dalamnya dia bisa hafal.

Nah, itu yang jadi masalah. Fanatisme tipe kedua itu secara tidak sadar hanya akan merusak dirinya sendiri dan berpikir diluar logika. Contohnya fans yang membuat agama chibi itu. Mungkin bagi dia Cherrybelle adalah Tuhan dan Chibi adalah para umatnya. Coba mainkan logika. Bagaimana mungkin orang bisa menyembah manusia biasa? Yang bahkan manusia biasa itu belum tentu lebih baik daripada fansnya. Menggemari seseorang atau sesuatu itu boleh saja, tapi kalau fanatik itu hanya pekerjaan orang bodoh.

Wednesday, May 30, 2012

(30 Mei 2012) Menangis Untuk Cowok #31harimenulis

Kenapa cowok tidak boleh menangis?

Kecoak rasa bukan hanya kecoak yang pernah memikirkan pertanyaan seperti itu. Jutaan cowok di dunia mungkin memikirkan hal yang sama. Kenapa cowok tidak boleh menangis?

Cewek mungkin berdalih cowok yang tidak menangis itu cowok yang tegar, cowok yang kuat, cowok yang tahan banting, dan syalala seperti itu. tapi ketahuilah para cewek, ITU TIDAK ADIL! Kami para cowok menjadi jengah dengan tuntutan ini itu. Kami, yang seharusnya bisa berekspresi dengan bebas, menjadi terkekang dengan harapan-harapan kalian untuk mempunyai cowok yang hebat. Kami sudah memberikan apa yang kami minta untuk kalian, jadi berikan sedikit apresiasi dan atensi untuk kami.

Jadi untuk para cewek kecoak tanya sekali lagi. BOLEHKAH COWOK MENANGIS?

Tuesday, May 29, 2012

(29 Mei 2012) Coba Bayangkan Sendiri #31harimenulis

(Berjalan menuju kamar mandi)

*dug dug dug dug....*

*ceklek. Krieeeeettt...*

*zzzzztttt.... Cuuuuurrrr...*

Ah melegakan sekali....

*zzzzttt.. byur.... byur... byur...*

(Berjalan menuju kamar)

*sruk.... sruk.... sruk... Brughh*

Selamat tidur semuanya.

Recent Posts

About Me

My photo
Kenapa aku hidup? Hanya untuk numpang lewat..

Followers

JavaScript Free Code

Recent Comments