Desa
Aek Bamban, Kabupaten Asahan. Desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini
adalah potret kalau pemerintah hanyalah terdiri dari sekumpulan manusia biasa
yang susah dihandalkan. Yang hanya bisa janji tanpa tahu bagaimana cara menepati.
Entah sudah berapa kali para pejabat mulai dari kelas teri seperti camat sampai
kelas kakap seperti presiden berjanji untuk memajukan kita-kita yang
terpinggirkan ini. Tapi sampai sekarang semua itu seperti sorak sorai di masa
lalu. Tidak ada gunanya untuk sekarang.
Sudah satu tahun aku tinggal di desa
ini. Statusku disini bukanlah sebagai penduduk asli. Hanya sebagai orang
suruhan pemerintah sebagai teknisi di desa ini. Keren bukan pekerjaanku? Tapi
sekarang itu hanyalah sebuah titel. Rencana pemerintah untuk membangun desa
informasi kandas sudah. Sekarang aku hanya seperti pengangguran berduit di desa
ini. Tidak melakukan apa-apa dan digaji.
Seperti biasa, sore hari aku
habiskan untuk meluruskan punggung di dermaga. Atau mungkin sebagian waktu hidupku
memang kuhabiskan di dermaga. Aku melihat burung camar, aku mendengar para
nelayan yang saling berkelakar, dan aku mencium baunya ikan, pastinya. Tapi
entah kenapa otakku mengolah itu semua sebagai sesuatu yang tidak asing bagiku.
Sesuatu yang sangat sangat familiar, sefamiliar saat kita menghirup udara tanpa
disuruh dan membersihkan pantat kita setelah buang air besar.
“Hei, Boi. Sudah kuduga kau disini. Sedang apa kau?” teriak Arifin dari
jauh. Arifin, temanku asli Aek Bamban yang sudah kukenal setahun ini adalah
kawan yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri. Ibaratnya seperti Si Buta
dari Gua Hantu dengan monyetnya Si Kliwon. Pilihan yang sulit untuk memilih
antara Si Buta dan Si Kliwon.
“Lagi melamun, Kawan Melayuku. Aku
merasa bersalah dengan desamu, Fin. Aku disini untuk membangun desamu,
memajukan desamu, memberikan fasilitas komunikasi dan informasi di desamu, tapi
lihatlah sekarang. Aku bukanlah apa-apa kecuali sampah.” Sesalku dengan nada
tinggi.
“Ya mau bagaimana lagi, Boi? Kau sudah berusaha semampumu
membantu kami, orang-orang pinggiran ini. Setidaknya dari tanganmu sendiri kau
berhasil membangun stasiun radio disini. Itu sudah lebih dari cukup untuk kami
ini. Jujur, sudah dari awal aku pesimis dengan rencana pembuatan desa informasi
seperti ini. Aku tahu tujuan orang-orang Jakarta disana baik, tapi kami sudah
meramalkan bahwa program ini tidak akan semenarik beritanya. Rencana hanyalah sebuah
rencana. Kau sudah berusaha, Kawan.” Ucap Arifin datar.
“Berarti benar kau menyimpan
kekecewaan, Boi?”
Aku juga manusia, Bon. Pasti merasa
kecewa aku.... Tapi aku sudah siap dengan kenyataan seperti ini. Tapi yang
lain? Aku tidak tahu....”
“Lihatlah sekitar, Fin. Sorot mata
mereka sekarang sudah kembali sayu. Tak ada semangat untuk berubah lagi.
Berbeda dengan setahun yang lalu saat aku datang. Aku lihat ada semangat dari
mereka. Mata mereka seakan berkata ‘aku siap untuk perubahan. Bawa aku ke dunia
lain yang lebih hebat dari duniaku sekarang ini’. Tapi sekarang? Pandangan
mereka seakan ingin bilang ‘ah sudahlah, mungkin tempatku memang disini. Tak
akan lagi ada sesuatu yang spektakuler dalam sisa hidupku.’ Aku merasa aku
tidak ada gunanya disini.”
“Tidak apa-apa, Bon.... Setidaknya
hidup mereka sudah pernah kau berikan warna. Lagipula program desa informasi
ini tidak segagal yang kita bayangkan. Lihatlah, setidaknya radio yang kau
pasang ini masih bisa mengudara mengalahkan radio milik Malaysia itu. Perubahan
memang tidak selamanya berlangsung secara cepat, Bon. Kita boleh berusaha dan
mengumpat sekeras yang kita mau, tapi tetap Yang Diatas yang menentukan.”
“Aku akan kembali ke Jakarta. Aku
akan usahakan apa yang bisa aku lakukan agar desa ini menjadi tempat yang bisa
dibanggakan olehmu, oleh kalian semua. Akan kukembalikan sorot mata
kalian-kalian ini sama seperti sorot mata satu tahun yang lalu.” ucapku dengan
mantap.
“Tidak perlu, Boi. Kau tidak perlu....”
“Tidak apa-apa. Aku tidak mau
pekerjaanku hanya berhenti sampai sini saja. Seorang Bono tidak pernah
setengah-setengah menyelesaikan pekerjaannya.” kataku dengan yakin.
“Terima kasih, Kawan Jawaku. Aku
tunggu kau dengan perubahan yang akan kau bawa. Tapi jangan lama-lama, atau
akan aku ubah desa ini lebih dulu daripada kau. Hahaha....” canda Arifin. Aku
lihat sorot matanya yang mulai semangat. Sorot mata yang ingin bilang ‘kau akan
membawa perubahan untuk kami, kawan’.
“Tunggu saja, Fin. Perubahan memang
tidak selamanya berjalan dengan cepat, seperti katamu. Tapi aku akan berusaha
secepat yang aku bisa. Dan sekarang sudah waktunya aku pergi. Perahuku sudah
terlihat. Sampaikan salam dan maafku pada yang lainnya. Kita akan bertemu lagi,
Kawan Melayuku.”
“Pasti.” jawabnya dengan senyum.
Aku segera mengambil langkah lari
menuju kapal yang akan membawaku ke Jakarta. Aku balik arah, dan aku melihat Arifin
serta desa Aek Bamban. Aku tunjuk jari telunjukku kesana. Dan aku bilang dalam
hati, aku akan kembali ke desa itu dan mengubahnya menjadi lebih baik. Aku
janji.