Seperti biasa, matahari selalu bersinar terik di sekitar Yogyakarta International School pada jam-jam seperti ini. Suhu yang mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius membuat orang-orang malas melakukan aktifitasnya di jalanan. Bahkan anjing pun malas untuk sekadar berjalan-jalan seperti biasanya dan memilih untuk tiduran di pinggir jalan dengan pandangan sayunya.
Dari dalam gang muncul sesosok orang yang sedang berlari-lari menghindari matahari. Kepalanya yang botak membuat orang tak bisa mengacuhkannya begitu saja, karena silau sinar matahari yang terpantul dari kepala botaknya. Dengan napas terengah-engah, dia mengganti tempo kakinya dari berlari menjadi berjalan. Alas sepatu yang sudah tipis menandakan bahwa perlu ada regenerasi sepatu untuk kakinya. Tapi si pemiliknya tetap kukuh tak akan mengganti sepatunya. Katanya untuk keberuntungan.
“Hei Bono. Mau kemana? Kesini!” teriak orang dari dalam tenda angkringan.
Si kepala botak segera celingukan dan mencari darimana asal suara yang memanggilnya. Setelah ketemu, dia segera berlari menuju tenda angkringan itu. Untuk menemui orang yang memanggilnya, dan menghindari panas tentu saja.
“Hei Bon. Mampir sini dulu. Diluar sangat panas. Mbul, pesan satu es jeruk untuk Bono. Cepet ya? Si Bono udah kekeringan kayaknya. Hahaha...” kelakar si Odeng sambil memesankan minuman untukku.
Bagai dicocok hidungnya, si Mbul segera buat es jeruk dengan cepat. Lima belas detik kemudian, satu gelas es jeruk sudah tersedia di mejaku. Ah Mbul, kalau otakmu secepat tanganmu membuat es jeruk tentu nasibmu tidak akan berakhir menjadi penjual angkringan. Mungkin kau bisa jadi akuntan, atau profesor, atau orang sukses lainnya. Ah nasib memang seperti angin. Kau tidak bisa menangkapnya, tapi bisa mengarahkannya. Sayangnya kau juga tidak bisa mengarahkannya Mbul...
“Terima kasih, Mbul. Yang ini bayarin ya, Deng?” kataku sambil menenggak habis minumanku.
“Tenang aja, Bon. Makan dan minumlah sepuasmu disini. Mumpung aku sedang baik hati. Hahaha...” kata Odeng.
Aku malas untuk makan. Bukannya tidak enak dengan makanannya. Jujur aku malah suka makanannya, tapi cuaca yang panas ini membuatku hanya ingin minum terus. Aku memesan satu es jeruk lagi kepada Mbul sambil mencomot bakwan udang yang terpampang di baki.
Iseng mataku melirik koran-koran yang tertumpuk di samping Odeng. Karena tertarik langsung aku ambil. Aku baca, aku amati, aku resapi, dan akupun hanya manggut-manggut pada akhirnya.
“Sekarang ini hidup tidak ada bedanya dengan mati, Bon. Orang yang hidup kadang berdoa agar dirinya cepat mati, dan orang sekarat berdoa agar dirinya bisa hidup. Itu yang namanya menyalahi takdir. Dan tak ada bedanya dengan para orang yang menamakan dirinya wakil rakyat. Mereka juga selalu menyalahi takdir. Mereka selalu mengoceh akan selalu menyalutkan suara dan aspirasi rakyat, jadi harusnya takdir mereka adalah untuk menyalurkan suara rakyat. Tapi lihatlah sekarang, mereka menerima suara rakyat, tapi sangat sedikit yang tersampaikan, apalagi yang terealisasikan.” celoteh Odeng sekaligus membuyarkan mataku yang sedang membaca.
“Mungkin lebih ke arah moral kenapa tingkah mereka seperti itu, Deng. Kebanyakan dari mereka menjadi wakil rakyak bukan karena hati mereka yang tergerak untuk menyalurkan suara rakyat, tapi lebih ke otak mereka yang tergiur dengan uang yang bisa mereka peroleh dari jabatan itu.” kataku menanggapi celotehan Odeng.
“Kau benar, Bon. Rasa jujur sekarang makin hari makin hilang dari bumi ini. Banyak orang sering menipu orang lain agar dirinya bisa meraup keuntungan. Padahal jujur adalah alat tukar yang berlaku di semua tempat di dunia ini. Kau bisa tinggal dimana saja kau mau, dan selagi kamu berpegang teguh pada kejujuran, kau tidak harus takut dengan kelaparan ataupun kemiskinan. Karena kejujuran akan mengundang simpati dan setia. Kalau kau jujur, kau akan mengundang simpati dari orang lain, dan rasa simpati itu lambat laun akan menjadi setia.”
“Kapan ya negara ini sadar kalau ternyata dirinya telah dibunuh dari dalam? Kapan ya para wakil rakyat sadar kalau masih ada tanggung jawab moral yang pada hakekatnya membuat mereka menjadi wakil rakyat? Nasib mereka pada akhirnya seperti udang di dalam bakwan ini. Ketika tertangkap, mereka tak akan bisa apa-apa.” aku mulai mengeluh.
“Jangan terburu-buru, Bon. Setidaknya kita bisa mulai dulu dari yang kecil. Kita bisa mengubah diri kita untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Jika semua orang berpikiran sama seperti kita. Tentu negara ini akan segera bangkit dari keterpurukan.”
Percakapanku dan Odeng semakin berlanjut. Dimulai dari dua gelas es jeruk menjadi belasan gelas. Dari beberapa gorengan menjadi belasan gorengan. Tetap saja pembicaraan kami makin berlanjut dan makin serius, hingga kudengar adzan berkumandang. Aku langsung pamit pulang pada Odeng dan Mbul. Tapi aku lupa akan satu hal. Apa yang sebenarnya akan aku lakukan tadi siang? Rasanya bukan untuk mampir ke angkringannya si Mbul. Apa ya? Ah biarlah. Mungkin nanti aku akan ingat.