19 tahun sudah si kecoak hidup, kawan. Senang, susah, sedih, gembira, yang semua itu bisa kita sebut nano-nano (karena rasanya yang macam-macam) sudah kecoak rasakan. Tapi tetap satu yang belum bisa kecoak definisikan, rumuskan, dan aplikasikan. Pacaran, atau lebih umumnya hubungan antara dua orang lawan jenis yang saling terikat oleh perasaan tapi tidak terikat oleh hukum.
Kecoak mulai mengenal pacaran ketika SMA, kawan. Bukan karena pengalaman sendiri. Entah karena kedewasaan atau kesok-tahuan membuat kecoak sering jadi tempat curhat (zaman dulu istilah kerennya jadi tempat sampah, entah karena sering jadi tempat cerita atau memang muka si kecoak mirip tempat sampah). Banyak cerita yang sudah kecoak dengar, mulai dari putus, baru jadian, tapi kebanyakan cerita tentang suka dengan cowok (karena semuanya yang curhat cewek) tapi mereka takut untuk bilang suka. Ujung-ujungnya daripada mereka ketemu malu mending mereka nelan pahit-pahit pil yang namanya cinta dalam hati.
Sampai sekarang, kecoak jadi punya dua sudut pandang soal cinta. Pertama, dari pandangan orang umum. Kecoak ambil sedikit kata-kata dari novelnya Bang Raditya Dika, “jika cinta bisa membuat tahi rasanya seperti coklat, maka patah hati bisa membuat rasa coklat seperti tahi.” Ya, seperti itulah lika-liku orang pacaran. Sudah lama pacaran, senang terus, tanpa ada masalah, eh tiba-tiba datang masalah kecil. Langsung hilang semua senangnya. Tiap hari adanya cuma marah dan marah terus. Dan tidak berlaku sebaliknya, walaupun sudah berusaha keras buat menutup kesalahan sekecil apapun, tetap saja tidak akan bisa mengubah perasaan negatif orang. Begitu hebatnya pasangan untuk mengendapkan rasa negatif meskipun sudah berusah digantikan oleh rasa positif. Meskipun mereka sudah damai dan bersikap biasa saja, tetap rasa negatif itu tidak akan bisa hilang. Dan itu akan menjadi “senjata” mereka ketika ribut kembali. Sudah tidak asing di telinga kita ada pasangan yang ribut tapi masalahnya merambat ke masalah yang dulu-dulu. Aneh memang.
Tapi kecoak tidak bilang pernyataan diatas itu mutlak, lho. Biasanya pasangan yang sudah pacaran lama, mereka mulai berpikir daripada harus bertengkar lama mending mulai mencari solusi untuk menyelesaikan masalah mereka, terlepas dari modus mereka untuk mempertahankan lamanya hubungan mereka atau perasaan mereka.
Ini yang menurut kecoak menjadi masalah. Kalau pacaran itu isinya kalo tidak senang ya sedih, kenapa pacaran menjadi sesuatu yang diinginkan semua orang? Iya kalau senang rasanya memang menyenangkan. Seperti tidak ada lagi yang diinginkan kecuali bersama pasangan. Tapi kalau sedih? Percayalah, itu tidak setimpal rasanya. Karena senang dalam pacaran itu tidak bertingkat. Kalau senang ya senang saja, entah apapun yang dilakukan, tetap saja senang. Beda dengan sedih. Kadang kita sedih sebentar karena masalah sepele, tapi kadang kita bisa sedih banget karena masalah yang besar. Karena itu tadi, pasangan lebih mudah mengendapkan rasa negatif daripada rasa positif.
Kali ini sudut pandang kedua. Sudut pandang ini si kecoak ambil dari ilmuwan (maaf ilmuwan siapa kecoak lupa. Hehehe...). Menurut ilmuwan itu, pacaran adalah sebuah antiklimaks dari sebuah proses hubungan. Dan proses yang menurutnya “menarik” adalah pendekatan dari hubungan itu. kecoak setuju juga dengan pendapat itu. bagi kecoak, pendekatan memang lebih “berasa” daripada pacarannya. Di pendekatan kita bisa berusaha memahami, memperhatikan, mulai memberikan rasa cinta, dan mulai memasuki kehidupan orang yang kita dekati. Tetapi kalau pacaran? Apa yang kita lakukan saat pacaran? Semua yang kita lakukan saat pacaran ternyata sudah kita lakukan di pendekatan. Memahami, memperhatikan, memberi rasa cinta, memasuki kehidupannya, sudah kita lakukan. Berarti tidak ada lagi yang tersisa yang bisa kita lakukan saat pacaran.
Begitulah kawan, apa yang menjadi penelitian si kecoak selama 19 tahun ini. Semoga bagi pasangan-pasangan disana, tetap langgeng, dan jangan menang ego sendiri. Dan untuk si kecoak, semoga mendapat jodohnya kelak. Amiin....
No comments:
Post a Comment