Kali ini si kecoak lagi kena marah sang kakak, kawan. Tulisan si kecoak di blog dikira hanya asal buat dan tak ada yang punya kualitas. Si kecoak yang baru saja setengah-sadar-dari-tidurnya-dan-masih-beriler hanya bisa manggut-manggut dengar telepon si kakak yang marah-marah nun jauh disana. Maklum, kakaknya kecoak juga dulu nongkrongnya di jurusan ilmu komunikasi, almamaternya sama pula dengan si kecoak. Sering juga ada pikiran, sekalian aja si kakak jadi dosen di ilkom. Tapi kalau itu sampai terjadi, maka aku harus mulai memikirkan untuk ikut snmptn yang akan datang. Hahaha...
Tapi yang tidak tahu dari kakaknya si kecoak adalah apa yang dirasakan saat tulisan itu dibuat. Apa yang si kecoak rasakan, yang kecoak pikirkan, atau apa yang kecoak masukkan dari tulisan yang memang tidak jelas itu. Memang tulisannya tidak karuan dan membuat dokter mata kebanjiran pasien karena matanya pada sakit saat melihat tulisannya si kecoak. Tapi si kecoak cuma ingin menulis dengan gayanya saja. Kadang ingin ngelucu, kadang ingin serius, kadang tidak jelas. Karena apa? Karena menulis adalah dunia yang bisa kita sisipi dengan mimpi dan bisa kita wujudkan tanpa menyakiti orang lain.
Lalu demi apa si kecoak rela berjam-jam brainstorming di depan laptop, nulis entri baru di blognya, nulis tulisan yang tidak jelas itu. Untuk apa? Ya seperti dibilang tadi, disitulah si kecoak bisa jadi walikota, jadi presiden, jadi tukang becak, jadi pengemis, atau jadi apapun yang si kecoak mau. Disitulah si kecoak bisa jadi pahlawan, pemenang, pecundang, penjahat, ataupun memiliki nasib apapun. Intinya si kecoak bisa jadi Tuhan disitu tanpa harus menghukum dan dihukum orang lain.
Because speaking is too mainstream.
Because listening is too mainstream.
Because writing is too mainstream.
Tepatnya, writing on-the-line is too mainstream.
No comments:
Post a Comment